Minggu, 19 Oktober 2014

Box of chocolate

"Life was like a box of chocolates.You never know what you're gonna get". I think about that Gump's quote lately..
Dan hasilnya.. aku tidak yakin cokelat rasa apa saja yang sudah kutelan atau kumuntahkan atau kubuang tanpa membukanya. 
Dan kira-kira, sebanyak apa cokelat enak yang telah dimakan orang beruntung hingga membuat dia sadar 'oh ya!!aku bahagia'? Yang lebih mengkhawatirkan adalah berapa banyak kotak cokelat tidak enak yang harus dipilih seseorang agar mereka wajar untuk nelangsa? Namun yang lebih dan lebih menggelisahkanku adalah kotak apa yang tidak kupertahankan padahal memiliki setengah kesempatan untuk menjadi kotak dengan rasa yang benar.
Sesungguhnya aku pernah berkata pada seseorang, "aku tidak merasa sedih untuk sesuatu yang belum kumiliki". Namun percayalah, pikiran adalah sesuatu yang paling mudah untuk bercabang, bahkan tanpa disiram!
Kemudian itu mengingatkanku pada ketidaksempurnaan manusia ditengah kesempurnaannya. Manusia bernapas dengan tanya dan butuh tidak kurang dari seumur hidup untuk mencari jawabannya. Menemukan, menyusun, menghilang, mencari ulang, menemukan lagi..terus seperti itu. Yang cukup keras tekadnya, mendapatkan lebih banyak potongan dibanding yang lemah. Tapi semuanya mendapatkan bentuknya sendiri, selesai atau tidak selesai. Hanya saja yang tidak cukup beruntung akan mengoleksi lubang-lubang yang lebih banyak. Lubang-lubang yang menyisakan pertanyaan favorit "what if?"
Dan bagiku pikiran itu wajar, bukankah manusia terlalu kompleks untuk hanya berdiri di 'saat ini', tanpa menoleh masa lalu atau tanpa memikirkan masa depan? 
Sebentar, itu belum semua, ada juga yang mendamba untuk bisa memutar waktu atau punya kehidupan yang berbeda (yang dia percaya sungguh adalah miliknya, andai saja dia...). Wah, makin banyak pekerjaan kita ya..
Dan, semakin dirunut akan mengundang lebih banyak pertanyaan. Mungkin yang hanya bisa kulakukan untuk kegelisahan seperti ini adalah mengelompokkan kotak yang sudah kupunya, yang enak dan yang tidak enak. Menumpuknya tinggi untuk kulihat-lihat dan bersenandung "ah, ini dia lubangnya" kemudian berharap lebih tinggi dari si tumpukan agar diberikan kenyataan untuk berkata "aku menemukan potongan yang tepat untuk mengisinya".

Sabtu, 29 Maret 2014

The Secret that Revealed

This is a story... tentang kebohongan yang terungkap dan menjadi cerita yang terus berulang-ulang di tiap masa. Masing-masing orang menghadapinya dengan cara yang berbeda. Pemakluman ataukah hukuman, keduanya adalah pilihan. 'White lie'-bohong putih, lucu sekali.. bagiku kebohongan tidak berwarna. White or Dark, lie is lie. Sebetulnya aku yakin, karena manusia tidak ada yang sempurna maka mereka pasti pernah berbohong, lie is such a natural thing for human but it becomes bad when transforming into habit and more worse if it hurt the other's feeling.

Tetapi, kebohongan berteman dengan kepercayaan. Sesungguhnya jika tidak ingin dibohongi maka jangan pernah mempercayai, as simple as that. Hampir mirip dengan kisah le petit prince, jika tidak ingin terluka maka jangan mau dijinakkan, jika tidak ingin berpisah maka tidak usah bertemu. Hidup adalah tentang memilih, ingin mencoba untuk merasa atau tidak sama sekali.

Lalu apa yang hilang setelah kebohongan datang? Tak usah ditanya, semuanya lenyap dalam sekejap karena satu kebohongan menjelaskan semua delusi kebenaran. Kepercayaan tidak bernilai, tak harus membelinya dengan uang, namun karena itu pula dia tidak dapat dibayar atau dikembalikan. Relakan kata orang-orang, sungguh tidak semudah itu sebenarnya. Mencapai kata rela dan ikhlas butuh proses yang panjang saat pemakluman tidak berdaya lagi untuk digunakan. Kemudian apa, revenge? only thinking about it already make me happy though BUT is that worth? I meant for that kind of person? Mengucurkan energi dan emosi hanya untuk mereka yang berbohong, sama saja dengan menimbun kesalahan.

It would be better to let it go but I forgive not forget. Hati bukan padang pasir yang ketika angin bertiup, jejak kaki bisa dengan mudahnya menghilang. Terima kasih untuk kebohongan, dengannya aku belajar tentang kepercayaan. Then, the story is end up like this. Applause.